Oleh:
Muhammad Rasyidi[1]
Abstrak
Perkataan, perbuatan, ketentuan
serta sifat-sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, mungkin inilah
terminologi yang kita kenal dari makna “hadis” itu sendiri. Berangkat dari
diskursus tentang hadis, maka tak wajar kita menjumpai pro dan kontra tentang
hadis, karena memang teks sekunder ini masih banyak yang diperdebatkan dan
dipertanyakan, baik dari segi matan (redaksi) dan sanad (jalur perawi)-nya.
Adapun pro kontra ini tidak hanya
datang dari individu internal Islam saja, bahkan non muslimpun juga sangat
antusias untuk mengkaji dan menggali bahkan mengkritik teks sekunder ini.
Berangkat
dari kegalauan intelektual ini, penulis merasa tertarik untuk mengkaji bagaimana
gerakan-gerakan orang non muslim dalam mengkritik otentisitas hadis. Namun
penulis di sini memilih tokoh kontroversial berkebangsaan Jerman berdarah
Yahudi serta tokoh yang mempunyai animo besar dalam melakukan otokritik
terhadap otentisitas hadis yaitu “Joseph Shacht”.
Orientalis
ulung ini banyak menimbulkan kemarahan dan kemurkaan para sarjana mulsim
seperti Muhammad Mustafa Azami dkk. Pernyataannya yang kontroversial dalam
bukunya “we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be
considired authentic”[2], bahwa menurutnya tidak ada hadis yang
benar-benar dari Nabi Muhammad, dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan jmlah
hadis yang otentik sangat sedikit jumlahnya.
Joseph
Shacht berada di garda terdepan dalam melakukan kritik hadis ini, bahkan dia
digolongkan termasuk tokoh orientalis yang ekstrim[3]
bersama seniornya Ignaz Goldziher. Dengan demikian mari kita mengkajji bersama,
bagaimana proyek Joseph Shacht ini tentang otentisitas hadis dan apa
argumentasi yang ia ajukan dalam melakukan kritik pedas ini?. Proyek “projecting
back”-nya adalah proyek yang berhasil ia garap bagaiamana memahami dan
mengkaji otentisitas dan validitas hadis ala Joseph Shacht.
Kata
kunci: otentisitas, validitas, Thobaqat
Berkebangsaan
Jerman, Berdarah Yahudi dan Sang Profesor Muda
Joseph Shacht
adalah tokoh orientalis yang lahir di Silisie Jerman pada tanggal 15 maret
1902, meraih gelar doktor dari universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika
berumur 21 tahun.
Ia diangkat menjadi dosen di
Universitas Fribourg pada tahun 1925 dan dikukuhkan menjadi guru besar pada
tahun 1929. Tokoh orientalis ini bahkan pernah mengajar bahasa Arab dan bahasa
Suryani di Universitas Fuad Awal (sekarang Universitas Kairo) di Mesir dan
diangkat sebagai guru besar.
Joseph Shacht pindah ke Inggris dari
Mesir pada perang dunia ke II dan bekerja di radio BBC, menariknya sekalipun
Joseph shacht ini berasal dari Jerman, dia memihak pada Inggris bahkan iapun
menikah dengan perempuan Inggris. Dengan ketekunan dan kesabarannya dan tidak
pandang unmur, sekalipun ia adalah seorang Profesor Doktor yang muda dan
berbakat, ia diangkat menjadi Profesor pada Umr 27 ia melanjutkan studinya
kembali pada program magister dan Doktor di pasca sarjana universitas Oxfotd
pada tahun 1948-1952.
Iapun meninggalkan Inggris pindah ke
Belanda pada tahun 1954 dan mengajar di Universitas Laiden serta diangkat
sebagai guru besar di Universitas tersebut. Joseph Shacht juga pindah ke New
York dan mengajar di Universitas Columbia dan juga menjadi guru besar sampai ia
meninggal pada tahun 1969.[4]
Menyoal
Proyek Joseph Schacht “Projecting Back”
Tawaran Schacht dalam mengkritisi
otentisitas hadis ini sangat menarik apabila kita kaji yakni teori “projecting
back”. Teori projecting back adalah proyeksi ke belakang, dimana menisbatkan
argumentasi ulama-ulama abad kedua dan ketiga hijriyah kepada ulama-ulama yang
terdahulu atau ulama abad sebelum kedua hijriyah, orang Iraq menisbatkan
pendapat mereka kepada Ibrahim an-Nakha’I misalnya (wafat 95 H). teori ini
lebih memprioritaskan kritikannya pada sanad hadis daripada matannya. Ia
berpendapat bahwa hadis Nabi itu adalah produk ulama pada abad akhir hijriyah,
rentetan perawi yang terdapat pada sanad hadis itu hanyalah rekayasa ulama
akhir hijriyah, apalagi hadis-hadis tentang hukum, rasionalisasi menurut
Schacht bahwa apabila hadis hukum itu sudah ada pada zaman Nabi, maka
hadis-hadis tersebut pasti digunakan dalam diskusi-diskusi atau dijadikan
hujjah. Sedangkan faktanya pada abad tersebut tidak terjadi seperti demikian “The
best way to proving that a tradition did not exist at a certain time, is
to show that it was not used as a legal argument in a discussion which would
have made reference to it, if it had existing ”[5].
Jadi tawaran Schacht ini
menyimpulkan bahwa rentetan perawi ini
sengaja direkayasa dan sengaja diambil tokoh-tokoh yang terkenal di setiap
zamannya.[6]
Masih
menurut Schacht, ia mengklaim bahwa kitab kutub as-sittah yang notabene
adalah kitab referensi utama hadis umat Islam tidak dapat dijamin keasliannya “even
the classical corpus contain a great many tradition wich cannot possibly be
authentic”[7].
Dan menurutnya juga bahwa sistem mulai diadakannya sanad atau istilah sanad ini
baru muncul pada abad kedua hijriyah “the reguler practice of using isnad is
older than the beginning of the second century”[8]
Apabila kita lihat dari berbagai
pendapat yang diungkapkan oleh Joseph Schaht ini lebih menitik beratkan pada
waktu dan umurnya istilah-istilah yang digunakan oleh orang Islam dalam
mengkaji hadis serta banyak mempertanyakan hal ihwal tentang keaslian hadis
ini. Orientalis yang satu ini memang sangat berani dalam melancarkan proyeknya,
dengan argumentasi-argumentasinya dia berusaha menelaah hadis-hadis yang
menurutnya tipertanyakan otentisitas dan validitasnya.
Ringkasnya dapat kita simpulkan
bahwa teori “projecting Back” ala Joseph Schacht ini terdapat empat poin,
yaitu:
1.
Istilah serta
penggunaan Isnad ini bermula pada abad kedua Hijriyah atau akhir abad pertama
hijriyah.
2.
Peletakana
isnad di setiap tingkatannya di letakkan secara sembarangan, yang terpenting
adalah tokoh yang paling terkenal pada saat itu di setiap zamannya.
3.
Hadis-hadis
yang berkaitan dengan hukum itu baru tersebar luaskan setelah masa as-Sya’bi.
4.
Semua hadis
Nabi adalah Produk rekayasa ulama.
Kendatipun
demikian kritikan-kritikan yang Joseph Schaht lakukan ini tidak terlepas dari
pelbagai ancaman dan balasan terhadap kritikannya dari para sarjana muslim,
seperti MM Azami dan lain sebagainya.
Kritik
Otentisitas Hadis ala Joseph Schacht
Dalam proyeknya
Schacht mengotak atik dan mengkritik hadis yang dianggapnya tidak otentik.
hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar misalnya. Hadis ini termaktuh
dalam kitab maghazi yang berbunyi Nabi Muhammad SAW bersabda:
Abdullah
bin Umar berkata, “Rasulullah SAW tidak mengecualikan Fatimah ra. (dalam
masalah hukum pidana)”.
Menurut Schacht redaksi hadis di atas
menunjukkan pengingkaran terhadap keistimewaan keluarga Nabi SAW. Dalam ranah
tentang hukum pidana. Maka dari itu hadis ini dianggap sebagai hadis yang anti
terhadap keluarga ‘Ali (alawiyyin). Karena dalam hadis tersebut ada pernyataan
tidak ada pengakuan akan adanya keistimewaan terhadap keluarga ‘Alawiyyin dalam persoalan hukum pidana.
Antitesis
kata “Islam” Sebagai Agama
Kata Islam adalah sebuah nama dari
agama yang bertuhankan Allah dan bernabi Muhammas SAW, namun ada kritik
terhadap kata “Islam” ini, para orientalis sangat antitesa terhadap penggunaan
kata Islam dijadikan sebuah agama, orientalis lebih setuju dengan nama “muhammadanisme”
atau bisa diartikan menjadi pengikut Muhammad atau bahkan dalam bahasa kasar
anak buah Muhammad, akan tetapi Joseph Schacht pernah menggunakan kata ini pada
tulisannya dengan mengatakan “Islamic law” sedangkan pada karyanya yang
monumental yang termasuk rujukan utama para orientalis, ia mengatakan dan
menamakan karyanya dengan judul “Muhammadan Jurisprudence”.
Apriori
teori “Projecting Back”
Dari sekian kritik yang dilakukan
oleh Joseph Schacht terhadap otentisitas hadis ini tidak terlepas dari
tanggapan-tanggapan para sarjana muslim terhadap pendapatnya.
Pendapat Joseph Schacht ini tidak
memenuhi standar akademik dalam menganalisa hadis, dimana Schacht menggunakan
kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik dan al-Umm dan ar-Risalah karya
Imam as-Syafi’I sebagai landasan dasar dalam penelitiannya dalam mengkritik
otentisitas dan validitas hadis. Sedangakan yang kita ketahui kitab-kitab
rujukan tersebut adalah kitab fiqih dan dikarang oleh ulama yang concern pada
bidang fiqih. Semestinya Joseph Schacht menggunakan kitab-kitab hadis dalam
penilitiannya. Jadi hasil dari penelitian Schacht ini tidak dapat diterima
karena apabila kitab yang bercorak fiqih dikaitkan dengan persoalan hadis dan
mengkritik hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab fiqih tersebut tidak akan
tepat.[9]
Mengenai masalah hadis-hadis tentang
hukum misaknya, yang Schacht katakan bahwa hadis hukum itu adalah buatan orang
atau ulama dapa akhir abad pertama dan awala abad kedua sekitar pada masa Imam
Syafi’I dan muncul pada masa sesudah al-Sya’bi (wafat 110 H). Pendapat ini
tidak dapat diterima karena hadis yang berkaitan dengan hukum sudah muncul
sejak zaman Nabi Muhammad SAW, karena untuk menentukan hukum ini dilakukan
melalui ijtihad, sedangkan ulama-ulama pada masa Nabi Muhammad sudah melakukan Ijtihad
bahkan pada masa sahabat juga demikian melakukan ijtihad.
Dalam menjawab kritik Schacht ini
Prof. Dr Muhammad Mustafa Azami berada di garda terdepan. Beliau melakukan
penilitian terhadap hadis-hadis Nabi yang terdapat pada naskah-naskah klasik. Seperti
naskah karya Suhail bin Abu Shalih (safat 138 H). serta naskah karya ayah Abu
Suhail sendiri yang notabene adalah murid dari Abu Hurairah sahabat Nabi
Muhammad SAW, sehingga bentuk sanadnya Abu Hurairah--Abu Suhail—Suhail.
Dalam hal ini MM Azami melihat
Naskah Suhail ini ada 49 hadis dan beliau meneliti perawi di tingkatan yang
ketiga yakni sampai Suhail. Azami membuktikan bahwa pada tobaqot
al-Tsalitsah ini terdapat sekitar 20 sampai 30 perawi dan di antara semua
perawi yang terdapat pada tobaqot al-Tsalisah ini berasal dari daerah
yang berjauhan, sekitar dari India sampai Maroko dan dari Turki sampai Yaman
dan dari semua perawi yang meriwayatkan hadis redaksinya sama dan tidak ada
perbedaan di antara semua perawi tersebut.
Jadi dapat kita tarik kesimpulan
bahwasanya dari hasil penelitian MM Azami ini mereka (para perawi) mustahil dan
tidak mungkin berkompromi dan melakukan konspirasi untuk menciptakan hadis
palsu, karena daerah asal para perawi tersebut masing-masing berjauhan.
Telaah
Hadis dalam Menjawab Kritik Joseph Schacht
Adapun kritik terhadap kritik Joseph
Schacht tentang otentisitas hadis Prof. Dr Mustafa Azami berada di garda
terdepan. Sebagai contoh yang dilakukan beliau adalah hadis Nabi Muhammad SAW,
beliau bersabda “apabila salah seorang di antara kalian bangun dari
tidurnya, maka hendaknya ia mencuci
tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada dimana”. Dalam
naskah Suhail bin Abi Shalih hadis ini berada pada nomor urutan 7, dan pada
jenjang pertama (generasi sahabat) ia diriwayatkan oleh lima orang perawi,
yakni Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabir, A’isyah dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhum.
Abu Hurairah sendiri kemudian
meriwayatkan hadis di atas kepada 13 orang tabi’in (tobaqot al-Tsani). Ketiga
belas tabi’in ini kemudian menyebar ke pelbagai penjuru negeri Islam. 8 orang
tetap tinggal di Madinah, seorang tinggal di kufah, 2 orang tinggal di Bashrah,
dan seorang tinggal di Yaman, kemudian seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian ketiga belas tabi’in ini meriwayatkan
lagi kepada generasi selanjutnya (al-Tobaqat al-Tsalitsah atau athba’
al-Thabi’in), dan jumlah mereka menjadi tidak kurang dari 16 orang. 6 orang
tinggal di Madinah, 4 orang tinggal di Bashrah, 2 orang Tinggal di Kufah, dan 1
orang tinggal di Makkah, juga1 orang tinggal di Yaman, 1 orang pula di
Khurasan, dan yang terakhir 1 orang tinggal Syam.[10]
Rasionalisasinya mustahil dari 15
orang yang domisilinya berpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah
berkumpul pada suatu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang
redaksinya sama. Dan mustahil pula apabila mereka secara sendiri-sendiri di
kediamannya masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi
hadis tersebut secara kebetulan sama.
Kemudian keenam belas orang rawi di
atas adalah hanya rawi-rawi dari jalur sanad Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi
itu ditambah dengan rawi-rawi yang berada di empat jalur yang lain, yaitu Ibnu
Umar, Jabir, ‘Aisyah, dan Ali, maka jumlah rawi itu akan menjadi lebih banyak.
Sementara dalam teori Schacht, jumlah rawi sedikit sekali, di samping redaksi
hadis yang diriwayatkan tidak sama, bahkan bertentangan, karena ia merupakan
produk ahli fiqih yang seperti lazimnya berbeda pendapat.
Sarjana
Muslim Pengagum Joseph Schacht
Dengan segala kemampuan dan
kapasitas keilmuannya dalam memahami khazanah keilmuan keislaman, Joseph
Schacht merupakan tokoh orientalis yang berhasil dalam mengembangkan proyeknya
(Projecting Back), banyak orang yang pro terhadap tesis ini, bahkan sarjana muslimpun
ada yang mengaguminya, seperti A. A. Fyzee misalnya, dia adalah seorang hakim
muslim yang berada pada jajaran Mahkamah Agung negara bagian Bombay India,
dimana ia mengungkapkan dalam bukunya A Modern Approach to Islam ia
menerima tanpa syarat tesis-tesis Schacht. Sama halnya dengan Fazlurrahman,
tokoh hermeneutika ini dan juga sebagai direktur Islamic Center di Karachi yang
kemudian pindah ke Chicago, dalam bukunya Islam ia menyanggah
dasar-dasar pandangan Schacht mengenai terbentuknya aliran-aliran hukum Islam.,
akan tetapi ia juga menerima tesis pokok dari Schacht tentang diedarkannya
hadis dan ia adalah salah satu tokoh cendekiawan muslim penganut teori
projecting Back-nya Joseph Schacht.
Rival
Joseph Schacht dari internal Islam
Jika penulis di atas menyebutkan ada
beberapa sarjana muslim pengagum tokoh orientalis kontradikti dan distorsif
ini, maka penulis juga akan menginformasikan bahwa ada salah seorang dari
sarjana muslim yang sangat antitesa terhadap tesis-tesis Joseph Schacht yakni
cendikiawa muslim berasala dari tanah India Prof Dr. Muhammad Mustafa Azami.
Alumni Universitas Cambridge ini menghajar habis-habisan gagasan-gagasan yang
dilontarkan Schacht.
Bukan hanya Joseph Schacht saja yang
menjadi incarannya, akan tetapi banyak tokoh orientalis lain yang ia kritik,
seperti Robson, Guillaune, Sachau, Wensinck, dan lain-lain, namun ada tokoh
orientalis yang menjadi musuh bebuyutannya yaitu Ignaz Goldziher dan Josep
Schacht, kedua tokoh ini dipandang berbahaya oleh Azami, dimana kedua tokoh ini
adalah tokoh yang paling ambisius dalam melancarkan kritikannya terhhadap Islam
terutama mengenai hadis Nabi. Kedua tokoh ini juga bkan hanya di mata orang
muslim yang kontroversial, dalam kaca mata orang-orang non muslimpun banyak
yang antitesa terhadap tesis kedua tokoh ini. Beruntuk Azami ini diperbolehkan
dan diizinkan untuk mengkritik Joseph Schacht oleh Universitas Cambridge.
Berbeda dengan rekan seperjuangannya yang tidak diperbolehkan oleh universitas
tersebut yakni Dr. Muhammad Amin al-Mishri.[11]
Azami juga melakukan klarifikasi istilah-istilah
hadis terhadap kisalahpahaman akibat ketidaktahuan yang dilakukan oleh
kebanyakan orientalis, seperti tuduhan orientalis yang mengatakan bahwa hadis
itu tidaj pernah ditulis pada masa Nabi, sebenarnya tuduhan beranhkat dari
kesalahan dalam memahami pernyataan Imam Malik bahwa “orang yang pertama
menulis hadis adalah Ibnu Syihabal-Zuhri”. Penelitian Azami membuktikan
bahwa tidak kutang dari 52 sahabat memiliki naskah-naskah catatan hadis.
Demikian pula dengan tabi’in, sekitar 247 tabi’in juga memiliki naskah catatan
hadis.
Usaha Prof. Dr Muhammad Mustafa
Azami ternyata tidak sia-sia dan banyak membuahkan hasil, dengan kesabaran dan
ketabahannya serta dengan seluruh kapasitas keilmuannya yang sangat luas,
beliau juga sukses dalam menjawab kritik orientalis.
Penghargaan yang sangat mengesankan
adalah M. M Azami mendapat penghormatan dan penghargaan dari tokoh orientalis
yang terkemuka di Universitas Cambridge yaitu Profesor A. J. Alberry. Maka tak
wajar bila seorang Azami mendapatkan penghargaan tersebut.
Peluh emaspun mengalir setelah ia
banyak mengeluarkan peluh dan berjuang dalam menegakkan kebenaran dan
meluruskan ketidak pastian dalam hal urusan agama. Kebenaran akan dibalas
dengan kebenaran, kebaikan juga akan dibalas dengan kebaikan bahkan lebih. “Faman
ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron yaroh, wa man ya’mal mitsqola dzarrotin
Syarron Yaroh”.
Dalam
penghargaannya yang sangat mengesankan dan mengagumkan adalah terbukti ketika
Profesor A. J. Alberry berkata “No Double the most important field of
reseach, relative to the studyof hadith,
is the discovery, verivication, and evaluation of the smaller collection of tradition
antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Musli and the rest. In
this field Dr. Azami has done pioneer work of the highest value, and he has
done it according to the exact standards of scholarship. The thesis which
presented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph. D., is in
my opinion one of te most exciting ang original investigation in this field of
modern times”.[12]
(tidak diragukan lagi, bahwa bidang penelitian yang paling penting dan
berkaitan deng bidang kajian hadis, adalah menemukan, meneliti dan mengevauasi
otentisitas kitab-kitab hadis yang kecil-kecil, yang sudah ada sebelum
munculnya enam kitab-kitab hadis yang besar-besar dan dijadikan rujukan, yaitu Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, dan lain-lainnya. Dalam hal ini, Dr. Azami telah
melakukan pekerjaan yang unggul dan sangat berharga, serta hal itu dilakukan
berdasarkan standar-standar yang benar menurut penelitian ilmiyah. Dan
disertasi yang ia ajukan, dimana ia kemudian dianugerahi gelar doktor dalam
filsafat dari Universitas Cambridge, menurut pendapat saya adalah termasuk
penelitian yang paling mengagumkan dan paling asli yang dilakukan dalam bidang
itu pada masa sekarang).
Rasanya memang pantas seorang Prof.
Dr Azami menerima sanjungan dan pujian dari berbagai belah pihak, bahkan dari
orientalispun beliau juga pantas menerima sanjungan, karena hal terbaik telah
diberikan oleg Azami, serta penelitian ilmiyah yang monumental telah ia
persembahkan agar tidak ada kesalahfahaman antar umat beragama. Dan dalam
melakukan kritik agar bernuansi akademik dan tidak bercorak polemik. Inilah
yang dilakukan oleh Azami agar tidak ada permusuhan antar umat beragama dan
terjalin harmonisme antar umat beragama.
Adakalanya hadis yang tidak benar,
tapi adakalanya juga hadis yang benar datang dari Rasulullah SAW. Boleh
seseorang meneliti hadis yang yang dianggap tidak asli atau palsu, asalkan
lakukan penelitian tersebut sesuai dengan standar akademik, agar tercipta hasil
penelitian yang makzimal dan tidak pula kontroversial, seperti Takhrij
Hadits misalnya, melakukan telaah terhadap redaksi maupun rentetan perawi
yang terdapat pada hadis dengan menggunakan kitab-kitab rujukan yang dapat
dipercaya seperti mu’jam al-Mufahros dan lain-lain.
Daftar
Rujukan
Prof.
Dr. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.
Kedua 2011.
Wahyudin
Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Joseph
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon
Press, 1959; cetakan pertama 1950.
Dr.
Syamsuddin Arif, Orientasme dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema
Insani Press, cet. Pertama 2008
[1] Penulis adalah
mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
semester tujuh
[2] Lihat Joseph
Shacht The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua (Oxford:
Clarendon Press, 1959; cetakan pertama 1950), hal. 149.
[3] Lihat Hasan
Abdurrauf el-Badawi, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme
Menelikung Pola Pikir Umat Islam, PT Remaja Rosdakarya, 2008; cetakan
kedua, hal. 40.
[4] Prof. Dr Ali
Mustafa Yaqub, MA, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus cetakan
keenam 2011, hal. 20
[5] Prof. Dr Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, hal. 22
[6] Wahyudin
Darmalaksana, Hadis Dimata Orientalis, Bandung: Benang Merah Press
cetakan pertama 2004, hal. 117.
[7] Dr. Syamsuddin
Arif, Orientasme dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press,
cet. Pertama 2008, hal. 32
[8] Josep Schacht,
The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, cet
pertama 1950, hal. 37
[9] Prof. Dr Ali
Mustafa Yaqub, kritik Hadis, Hal. 21. Pendapat ini dikutip dari buku
karya Prof. Dr Muhammad Mustafa Azami, dalam karyanya yang berjudul dirasat
fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, al-Maktab al-Islami, Beirut
1980, cetakan kedua, hal. 398.
[10] Mustafa Azami part
two, The Edited Texts, hal. 16, dikutip dari buku Kritik Hadis karya
Prof. Dr Ali Mustafa Yaqub, MA pada halaman 29.
[11] Prof. Dr Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, hal. 27
[12] Prof. Dr Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, hal. 27 dikutip dari buku karya M. M Azami
dengan juudul Studies in Early Hadith Literature, American Trust
Publication, IndianaPolis-Indiana, 1978, Foreword.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar